Label

Tampilkan postingan dengan label Kenangan Terindah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kenangan Terindah. Tampilkan semua postingan

Selasa, 19 Juli 2011

Bandung, Berawal dari Dasar Samudra Dalam

Seniman-seniman Sunda punya cara untuk melukiskan keindahan daerahnya. Melalui sebait lagu, bisa diketahui bahwa Bandung merupakan dataran tinggi yang memiliki keistimewaan. Di sekelilingnya berjejer gunung-gunung, sehingga kotanya ini dijuluki di lingkung gunung. Kota Bandung merupakan pusat dataran tinggi Bandung yang bentuk morfologi wilayahnya tidak beda dengan sebuah mangkok raksasa.
Wilayah dataran tinggi Bandung, secara administrasi pemerintahan terdiri dari Kabupaten Bandung. Di mana pada bagian tengah wilayahnya terdapat wilayah Kota Bandung dan Kota Cimahi. Topografi kedua wilayah terakhir ini lebih rendah dibanding dengan sebagian wilayah kabupaten Bandung, terutama yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Subang, Sumedang dan Kabupaten Garut yang terdiri dari gunung-gunung.

Karena kondisi wilayahnya seperti itu, Dataran Tinggi Bandung sering disebut cekungan Bandung. Bentang alamnya mirip dengan sebuah mangkok raksasa yang dikelilingi gunung-gunung berapi. Di bagian tengahnya, pada satu dataran yang paling rendah mengalir Sungai Citarum. Alirannya yang pernah terbendung secara alami, menjadi sumber inspirasi lahirnya cerita rakyat Sangkuriang.

Cekungan Bandung bisa dinikmati jika kita berada di suatu tempat yang agak tinggi seperti dari atap bangunan bertingkat yang terletak di pusat kota. Atau yang paling enak, pemandangan di sekitar dataran Tinggi Bandung bisa dinikmati dari segala penjuru arah melalui menara kembar Masjid Raya Bandung – Provinsi Jawa Barat setingi 81 meter. Cukup dengan merogoh kocek Rp. 2.000,00 kita bisa memandang dataran tinggi Bandung sepuas-puasnya. Apabila pandangan diarahkan ke utara, di sana berjejer gunung api Burangrang (2.064 meter), Gunung Tangkubanperahu (2.076 meter), Bukit Tunggul (2.209 meter), Gunung Cangak dan Gunung Manglayang.

Di sebelah timur, terdapat kerucut-kerucut gunung api kecil antara lain Mandalawangi (1.650 meter), Mandalagiri, Gandapura, Kamojang dan lain-lainnya. Di sebelah selatan berjejer gunung api Malabar (2.343 meter), Patuha (2.434 meter), dan gunung Tilu. Sedangkan di sebelah barat terdapat satuan pematang homoklin yang merupakan perbukitan memanjang, membentuk daerah perbukitan Rajamandala-Padalarang. Beberapa puncak pematangnya antara lain Pasir Pabeasan, Pasir Balukbuk, dan Pasir Kiara.

Gunung-gunung itu bisa juga dilihat jika berdiri di teras Taman Ganesha yang berbentuk setengah lingkaran. Salah satu sisi taman tersebut terletak di  Jalan Ganesha, bersebrangan dengan kampus Institut Teknologi Bandung (ITB). Di atas teras itu terdapat petunjuk arah gunung-gunung di sekitar dataran tinggi Bandung berikut dengan ketinggiannya, sejak Gunung Manglayang (1.811 meter) di sebelah timur, Mandalawangi (1.60 meter), Graha (1.159 meter), Jaya (2.416 meter), Papandayan (2.660 meter), Kendang (2.607 meter), Masigit (2.076 meter), Dayeuh luhur (1.010 meter) dan Gunung Lalakon (970 meter) di sebelah barat.

Para ahli mengungkapkan, kondisi geologi dan geomorfologi dataran tinggi Bandung seperti itu terbentuk oleh pegunungan vulkanik yang terdapat di bagian utara dan selatan. Kisahnya bermula, saat lebih dari 20-17 juta tahun silam, pada Kala Miosen, sebagian besar permukaan bumi masih merupakan dasar samudera. Dalam umurnya yang masih muda, roman kulit bumi selalu berubah-ubah karena aktivitas yang berlangsung dalam perut bumi. Dataran Tinggi Bandung yang sebelumnya merupakan dasar samudera dalam yang kemudian berubah menjadi dasar samudera dangkal karena adanya aktivitas tersebut. Dataran paling awal yang terbentuk di bagian selatan, makin lama makin luas dengan terbentuknya gunung api baru seperti Gunung Patuha, Gunung Kamojang-Guntur, dan Gunung Malabar. Satuan gunung api dan perbukitan itu memagari daratan yang lebih rendah, di mana bermunculan bukit-bukit yang terpisah atau berkelompok menjadi jajaran perbukitan yang terdapat di daerah yang kini dinamakan Cimahi dan Dayeuhkolot. Dalan istilah geologi, bukit-bukit itu dikelompokkan menjadi satu dan dinamakan Satuan Perbukitan Terisolasi. Di salah satu tempat yang kini termasuk wilayah Kecamatan Batujajar, magma yang menerobos kulit bumi yang berlangsung sekitar 4-5 juta tahun lalu membentuk batuan beku berwarna abu-abu. Batuan tersebut menjadi ciri yang bisa dijumpai di bukit Lagadar, sebuah bukit yang terletak di Cimahi selatan.

Dalam Riwayat Geologi Dataran Tinggi Bandung (1959), geolog Kusumadinata mengungkapkan, saat bumi masih mengalami perubahan-perubahan revolusioner, pelipatan (folding) dan pembentukan gunung api, di sebelah utara lahir gunung api raksasa yang dinamakan Gunung Sunda. Nama gunung itu menjadi nama paparan kawasan ini dan sekaligus menjadi nama etnis yang jadi penghuninya. Puncak gunung tersebut menjulang tinggi sekitar 3.000-4.000 meter dengan garis tengah bagian dasarnya sekitar 20-30 kilometer. Karena puncak gunung tersebut selalu putih diselimuti salju, gunung api tersebut dinamakan Gunung Sunda. Masyarakat Sunda percaya, nama itu berasal dari kata cudda dalam Bahasa Sansekerta yang artinya putih, bersih, atau suci.

Umur Gunung Sunda rupanya tidak lama. Gunung api raksasa itu hancur setelah mengalami beberapa kali letusan dahsyat yang disertai adanya gerakan hebat di dalam perut bumi. Peristiwa ini disusul dengan lahirnya Gunung Tangkubanperahu yang dalam cerita Sangkuriang diceritakan berasal dari perahu yang terbalik setelah ditendang oleh Sangkuriang. Tidak jauh dari Gunung Tangkubanperahu terdapat Gunung Burangrang. Gunung tersebut merupakan parasit Gunung Sunda.

Secara geologi, sisa-sisa kehebatan letusan Gunung Sunda masih bisa disaksikan. Sekali waktu, jika dalam perjalanan dari Kota Bandung menuju arah Gunung Tangkubanperahu atau sebaliknya, cobalah berhenti sejenak pada salah satu sisi jalan tersebut, di mana terdapat deretan kios-kios pedagang jagung bakar. Setelah itu, arahkan pandangan ke selatan. Dalam cuaca cerah, maka akan tampak sebuah bukit yang dinamakan penduduk setempat Gunung Batu. Gunung Batu terletak di  Kampung Sukamulya, Desa Langensari, Kecamatan Lembang. Istilah gunung untuk tempat tersebut sebenarnya lebih cocok dinamakan bukit batu. Tempat itu bisa dijadikan awal penelusuran untuk membuktikan terjadinya patahan atau sesar di daerah selatan Lembang yang terjadi sewaktu Gunung Sunda runtuh. Dari tempat ini, patahan lembang akan tampak jelas. Garis patahnya memanjang sejauh kurang lebih 25 kilometer, sejak daerah Maribaya di sebelah timur, lalu mengarah ke barat. Di beberapa tempat, patahan tersebut membentuk jurang curam sedalam 300-400 meter dan lebar 300 meter. Patahan itu hilang di daerah Cisarua, tempat di mana terdapat telaga yang dinamakan Situ Lembang. Situ tersebut terletak sekitar lima kilometer dari simpang tiga jala raya Cisarua yang terletak pada ruas jalan raya yang menghubungkan Cimahi-Lembang di Kabupaten Bandung.

Karena kondisi jalan menuju tempat tersebut rusak berat, perjalanan menuju Situ Lembang hanya memungkinkan dicapai dengan kendaraan jip. Namun bagi mereka yang tidak membawa kendaraan, setiap saat selalu tersedia ojek motor yang mangkal di mulut jalan masuk dari Cisarua. Pemadangan di sekitar situ tersebut sangat indah, terutama bagi mereka yang menjadi pencinta alam atau senang bertualang di alam terbuka. Udaranya sejuk dengan suhu 12-20 derajat celcius, Untuk kepentingan pengairan, pada tahun 1912, situ tersebut dibendung.

Selama ini, kawasan sekitar Situ Lembang merupakan tempat latihan militer dan penggemblengan mental para pecinta alam Wanadri. Jika pandangan diarahkan ke arah utara dan barat dari situ tersebut, di depan kita tampak dinding alam yang menjulang setinggi 200-300 meter dan memanjang sekitar dua kilometer. Hutan pada dinding alam itu masih relatif utuh. Dinding alam tersebut merupakan saksi bisu sejarah keberadaan Gunung Sunda. Letusannya yang dahsyat menyisakan kaldera, di mana sebagian kecil sisinya masih bisa disaksikan jika berada di sekitar Situ Lembang.

Menyusuri sejarah geologi terbentuknya Cekungan Bandung rasanya belum lengkap jika tidak melangkahkan kaki ke arah barat, ke daerah yang selama ini dinamakan kawasan kars Padalarang. Kawasan kars adalah istilah bagi bentang alam permukaan dan bawah permukaan pada batu gamping yang pembentukannya dipengaruhi oleh proses pelarutan. Proto batu gamping, terutama yang berjenis reef, pada awalnya merupakan terumbu karang di pinggiran pantai yang biasanya dibentuk oleh koloni binatang koral yang mengalami proses pengendapan yang sempurna (Samodra, 2001). Ketika dataran tinggi Bandung masih merupakan dasar samudera dalam, perairan di daerah itu sangat mendukung kondisi fisik dan mutu lingkungan air laut di sekitarnya.

Karena itu, di sekitar perairan tersebut tumbuh subur koloni binatang karang. Namun akibat letusan gunung-gunung api di sana, perairanya mengalami pencemaran. Aliran lava gunung tersebut menyebar sampai ke daerah yang kini dinamakan Padalarang, sehingga merusak dan memutuskan kelangsungan hidup binatang koral di perairan tersebut. Setelah laut makin terdesak ke utaran dan dataran tinggi Bandung menjadi daratan, koloni binatang karang yang sebelumnya mengalami pengendapan yang sempurna, setelah mengalami proses geologi berubah menjadi bau gamping sehingga akhirnya terciptalah kawasan kars. Di dataran tinggi Bandung, kawasan kars membentang sepanjang daerah bagian barat, pada satu wilayah yang disebut Cipatat, Padalarang. Kedua daerah itu terletak sekitar 20 km arah barat Kota Bandung.

Kawasan itu persisnya dilewati ruas jalan raya yang menghubungkan Bandung-Cianjur dan Bandung-Purwakarta. Di kawasan itu, tedapat dua bukit gamping yang kerap dijadikan panduan lapangan. Yakni Gunung Masigit dan Pasir Pabeasan.  Bukit lainnya yang dinamakan Pasir Pawon di mana pada salah satu sisinya yang terbentuk tebing terdapat goa dan disebut Goa Pawon, pernah dijadikan tempat tinggal manusia prasejarah. Pasir dalam Bahasa Sunda sama artinya dengan bukit. Puncak bukit itu memiliki “taman batu” yang agak sulit ditemukan bandingannya. Bentuknya yang mempesona terjadi karena pelarutan karsitfikasi. Saking terkagum-kagum karena keindahan kawasan itu dan kawasan kars di sekitarnya, geolog Dr. Budi Brahmantyo dan Ketua Masyarakat Geografi Indonesia (MGI) Drs. T. Bachtiar S.E. yang dikenal sebagai penjelajah Bandung Purba, selalu menyempatkan diri berkunjung ke tempat ini bersama anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB). Tetapi harap maklum, bukit Pasir Pawon hanya bisa dicapai setelah melalui jalan desa sejauh hampir dua kilometer. Perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki melalui jalan setapak sejauh kurang lebih 500 meter. Lumayan untuk mereka yang tidak pernah jalan kaki karena perjalanan ditempuh dengan mendaki bukit.

Sisa-sisa koloni binatang karang yang kini sudah menjadi kawasan kars Padalarang sangat mudah dikenali.  Jika melewati Cianjur menuju Bandung, di daerah Cipatat akan dijumpai daerah yang di kiri-kanan jalan raya tersebut dipenuhi tobong-tobong pembakaran batu gamping. Di daerah ini, deru mesin pemotong marmer hampir tiada henti. Udara di sekitar daerah itu kotor. Partikel-partikel kapur yang sangat halus beterbangan tertiup angin ke segala penjuru. Selama ini, eksploitasi bahan galian daerah itu, selain memberikan sumbangan pendapatan, juga telah membuka lapangan kerja. Tidak sedikit penduduk yang mengandalkan sumber kehidupan di sana. Di sisi lain, pemerintah daerah setempat memetik keuntungan berupa pendapatan asli daerah sendiri (PADS) yang berasal dari retribusi dan berbagai pungutan lainnya. Tetapi yang menjadi pertanyaan, apakah keuntungan ekonomi jangka pendek dari derah itu akan sesuai dengan kerugian dalam jangka panang yang timbul karena kemerosotan lingkungan dan hancurnya salah satu halaman sejarah geologi dataran tinggi Bandung?

Senin, 18 Juli 2011

Alun-alun Bandung Tinggal Nama

Pusat kota atau puseur dayeuh Bandung tempo doeloe dicirikan dengan sebidang tanah lapang yang dinamakan alun-alun.  Di sekitarnya terdapat bangunan-bangunan fungsional. Di sebelah selatan terdapat bangunan pendopo kabupaten. Kini bangunan itu dijadikan kediaman resmi wali kota Bandung.
Di sebelah barat terdapat bangunan Masjid Agung. Kini namanya Masjid Raya Bandung – Provinsi Jawa Barat. Di sebelah timur terdapat Bale Bandung. Setelah beberapa kali dirombak, kini di atasnya berdiri bangunan tiga lantai yang dijadikan pusat perbelanjaan Palaguna.

Masih dalam lingkaran pusat kota, di sebelah utara alun-alun terletak penjara Banceuy. Dinamakan demikian karena penjara tersebut terletak di  Jalan Banceuy. Dalam Bahasa Sunda, banceuy sama artinya dengan kampung yang dijadikan kandang kuda (istal), di samping tempat penduduk yang bertugas mengurus kuda penghela.

Pada awal berdirinya Kota Bandung, kuda merupakan alat transortasi penting yang digunakan untuk menghela kereta pos. Biasanya, pada jarak tertentu, kuda penghela tersebut diganti oleh kuda lainnya yang masih segar di pos pergantian. Salah satu pos penggatian yang terdapat di jalan raya pos (Grote Postweg) terdapat di dekat gedung Kantor Pos Besar Bandung yang sekarang. Bangunannya terletak di sudut jalan raya pos (Grote Postweg) dengan Jalan Banceuy.
Jalan Banceuy sebelumnya dinamakan Oude Kerkhoffweg karena di sana pernah dijadikan tempat kuburan China. Kini tempat itu dijadikan pusat penjualan suku cadang mobil dan listrik.

Alun-alun Bandung yang terletak di sisi selatan Grote Postweg bisa dikatakan masih ada, tetapi bisa juga dikatakan sudah tidak ada lagi. Dikatakan tidak ada, karena secara fisik, alun-alun sudah dijadikan plaza Masjid Raya Bandung – Provinsi Jawa Barat. Sebaliknya dikatakan tidak ada, karena masyarakat Bandung masih menyebut tempat itu alun-alun.

Alun-alun Bandung tempo doeloe dibangun di depan pendopo kabupaten, sehingga keberadaannya merupakan satu kesatuan dengan Masjid Agung dan bangunan pemerintahan lainnya. Di tempat itu pula masyarakat kota bersosialisasi dan melakukan berbagai aktivitas, serta memanfaatkan sebagai tempat rekreasi. Tanahnya subur dan ditumbuhi rumput hijau. Sisi timur alun-alun dibatasi sepenggal jalan yang dinamakan Jalan Alun-alun Timur.

Di masa lalu, jalan tersebut pernah menjadi tempat mejeng, terutama anak-anak muda. Di sana terdapat tiga buah gedung bioskop yakni, Elita, Oriental dan Varia dengan gaya arsitektur yang unik, gedung Varia sebelumnya merupakan tempat hiburan atau feesterien. Tetapi di lidah penduduk setempat, tempat hiburan itu diucapkan pistren.
Tahun 1980-an, bangunan bioskop dan tempat hiburan di sana diratakan dengan tanah. Di atasnya kemudian didirikan bangunan tiga lantai dijadikan pusat perbelanjaan Palaguna. Satu-satunya bangungan gedung bioskop yang masih tersisa hanyalah Radio City yang terletak di ujung selatan Jalan Alun-alun Timur.
Namun, sejalan dengan makin suramnya dunia perbioskopan nasional, bangunan bekas bioskop Radio City yang kemudian berubah nama menjadi Dian dijadikan gelanggang futsal.

Seperti alun-alun di tempat lainnya di  Nusantara, bagian tengah alun-alun Bandung ditanami sepasang pohon beringin yang dilambangkan sebagai pengayom. Sebuah di antaranya dinamakan Wihelmina-boom karena di tanam untuk memperingati pelantikan Ratu Belanda Wihelmina pada tanggal 8 September 1898. Pohon beringin di sebelahnya yang ditanam tahun 1909, dinamakan Juliana-boom untuk memperingati kelahiran Ratu Juliana.

Wihelmina Helena Pauline Maria bertahta sejak tahun 1890-1948. Namun setelah merayakan pesta emas tahtanya, ia menyerahkannya kepada putirnya Juliana Louise Emma Marie Wihelmina (1948-1980).

Kedua pohon tersebut sering dijadikan tempat berteduh masyarakat dari teriknya sinar matahari. Namun menjelang pendudukan Jepang, pohon beringin di tengah alun-alun itu tumbang. Kata orang tua, itulah ciciren (tanda-tanda) kejatuhan Belanda di tanah jajahannya.

Desas-desus itu segera saja meneybar dengan cepat, terutama di kalangan beberapa pemilik toko foto dan tempat cukur milik orang-orang Jepang yang berusaha di sekitar alun-alun. Para pedagang bangsa Jepang memperoleh perlakuan yang lebih leluasa, sesuatu yang sebenarnya dikemudian hari disesali. Mereka diperlakukan sama sebagai orang Timur Asing. Sedangkan di mata penduduk pribumi, orango-orang Jepang tersebut dianggap lebih baik. Mereka menjual barang-barang dagangannya dengan harga murah. Sikapnya ramah dan sopan.
Saat itu, daerah sekitar alun-alun sudah jadi pusat perdagangan paling ramai. Bahkan karena banyaknya orang-orang Jepang yang berusaha di sana, pemandangan daerah sekitar alun-alun sudah tampak selah-olah kota Jepang. Pada tahun 1932, mereka sempat membangun sekolah dasar.

Salah seorang karyawan toko foto milik Hoshina Katsukichi yang bernama Ichiki Tatsuo, tiba di Bandung tahun 1933 setelah sebelumnya mengadu nasib di  Palembang. Pemuda kelahiran kota kecil Raraki, Kumamoto di bagian selatan Kyushu, Jepang itu, kemudian menjadi kondektur bus milik orang Jepang yang tinggal di daerah ponggriran Bandung. Setelah berhenti, ia ditampung di rumah Nyi Iti yang tinggal di daerah Sumedang. Namun, karena sering mengunjungi klub orang-orang Jepang, Ichiki menjadi wartawan Nichiran Shogyo Shinbun atas rekomendasi Machida Taisaku, tokoh komunitas orang Jepang di Bandung (Goto, 1998:119-121).

Jika dihubungkan dengan kejatuhan Hindia Belanda yang menyerah tanpa syarat di Kalijati, Subang, 8 Maret 1942, kemenangan itu sangat boleh jadi tidak lepas dari peran komunitas orang Jepang di Kota Bandung selama itu. Masyarakat orang Jepang di Hindia Belanda yang mayoritas pemilik toko tersebut, melakukan kegiatan spionase sebagai bentuk kepedulian mereka terhadap tanah airnya (Lubis, 2005:37).

Dalam  masyarakat Kota Bandung, alun-alun memiliki beberapa fungsi. Selailn merupakan paru-paru kota dan tempat masyarakat bersosialisasi, alun-alun pernah menjadi saksi sejarah lahirnya Negara Pasundan versi  Partai Rakyat Pasoendan (PRP) yang diproklamirkan pada tanggal 4 Mei 1947. Proklamasi negera boneka Belanda itu disiarkan oleh radio resmi Belanda dan dihadiri Van Mook serta partai politik Belanda seperti Kathotliek Vilks Partij (KVP) dan Indo Europee Verbond (IEV). Naskahnya dibuat dalam tiga bahasa (Rosidi, 2000:499).

Naskah proklamasi dalam Bahasa Sunda dibacakan oleh R.A.A. Moesa Soeria Kartalegawa (Ketua Pengurus Besar), naskah dalam Bahasa Belanda dibacakan Mr. Koestomo (Sekretaris) dan naskah dalam Bahasa Indonesia dibacakan oleh Soeleiman. Kartalegawa adalah bekas  Bupati Garut yang dipecat pada zaman pendudukan Jepang. Namun umur Negara Pasundan tersebut rupanya tidak bertahan lama. Setelah tiga kali diselenggarakan Konferensi Djawa Barat yang bertujuan membentuk Badan Pemerintahan Daerah Sementara (Recomba), Negara Pasundan versi P.R.P. akhirnya bubar.

Sebagai ruang terbuka yang letaknya di pusat kota, alun-alun sudah beberapa kali mengalami salin rupa. Bahkan karena seringnya hail itu terjadi, warga kota menjadikannya sumber desas-desus. Jika dulu dijadikan ciciren jatuhnya pemerintahan Hindia Belanda, maka setelah kemerdekaan, alun-alun dijadikan ciciren adanya penggatian pimpinan daerah (wali kota). Dalam Bahasa Sunda, ciciren artinya sama dengan pertanda akan terjadi sesuatu.

Tahun 1961 misalnya, di bagian tengah alun-alun yang dulu ditumbuhi pohon beringin Wihelmina-boom dan Juliana-bom, di tempat itu masih terdapat bak persegi panjang, tempat menampung air mancur. Pada sore atau hari libur, tempat itu dijadikan sekadar tempat melepas lelah.

Namun, tahun 1984, wajah alun-alun sudah berubah lagi sehingga lebih tepat disebut taman. Di sana-sini ditempatkan hiasan pot-pot bunga dalam ukuran besar. Layaknya sebuah taman daerah sekitarnya ditanami berbagai jenis tanaman. Tetapi, karena kurang memperoleh penerangan, tempat tersebut dijadikan bursa “esek-esek” di malam hari. Padahal di seberangnya terdapat bangunan Masjid Agung dan  Pendopo Kabupaten.
Insipirasi para pejabat di daerah ini rupanya selalu muncul jika melihat tempat yang memiliki nilai ekonomi tinggi seperti alun-alun. Sebuah gagasan menjadikan daerah sekitarnya menjadi pusat perbelanjaan khas, lengkap dengan nuansa wisata, sempat direncanakan pada tahun 1997. Padahal, sebagai daerah yang terkenal di pusat kota, daerah sekitar alun-alun paling terkenal karena sering macet. Arus lalu lintasnya semrawut, walaupun merupakan salah satu titik yang dilarang dijadikan tempat berjualan pedagang kaki lima, namun tempat ini dianggap paling cocok untuk berjualan. Mereka sering kucing-kucingan dengan petugas yang melakukan operasi ketertiban.
Sebaliknya bagi sebagian rakyat kecil, alun-alun dianggap tempat paling cocok untuk mengekspresikan kemarahannya. Hanya karena gagal menyaksikan kontes musik rock di Lapang Uni pada tanggal 28 Desember 1992, daerah sekitar aln-alun menjadi sasaran amuk massa. Pot-pot ukuran besar yang terdapat di alun-alun dijungkir-balikkan sehingga berantakan. Kaca-kaca etalase beberapa toko berantakan karena dilempari batu.

Kemarahan yang tidak terkendali akibat kesalahan informasi dalam razia yang dilakukan Satuan Polisi Pamong Praja yang tergabung dalam Satuan Tigas Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan (K3) Kotamadya Bandung terjadi pada tanggal 1 Desember 1994. Kemarahan itu dilampiaskan dengan merusak bangunan dan barang-barang di pusat kota, terutama sekitar alun-alun.
Nasibmu, memang alun-alun Bandung................