Minggu, 14 Agustus 2011

Situ Hyang dan Legenda Sangkuriang

Cerita rakyat Sangkuriang yang menjadi milik masyarakat Sunda merpakan legenda paling sempurna. Cerita rakyat yang mengungkapkan terciptanya Danau Bandung Purba itu, seringkali menyulitkan sebagain besar masyarakat awam dalam membedakan mana yang menjadi bagian dari legenda dan mana  yang merupakan fakta sejarah serta fakta geologi.

Dalam kedua hal itu, wilayah yang kini bernama Dataran Tinggi Bandung, sebelumnya merupakan perairan yang sangat luas. Dengan bentuk yang merupakan danau, perairan itu membentang sejauh 50 kilometer dari arah barat ke timur, sejak daerah yang kini dinamakan Padalarang sampai Cicalengka. Sisi utara-selatan membentang sejauh 30 kilometer, sejak daerah Dago Pakar sampai Soreang, kota kecamatan yang kini dijadikan ibu kota Kabupaten Bandung. Saking luasnya perairan itu, penduduk menamakannya Situ Hyang. Artinya sama dengan “danau tempat bersemayam para dewa”.

Dalam ukuran sekarang, ketinggian muka air Situ Hyang sekitar 700-725 meter di atas permukaan laut. Berada di atas dataran yang permukaan tanahnya tidak sama, kedalaman air di daerah Dayeuhkolot diperkirakan mencapai 75-100 meter. Jika berdiri di depan halaman Gedung Sate, kedalaman air danau mencapai sekitar enam meter. Cukup membuat seseorang yang tidak bisa berenang mati tenggelam. Situ Hyang bentukanya menyerupai dua buah danau yang terbagi karena perbukitan Selacau dan Lagadar yang terletak di daerah Cimahi sekarang. Jika mencoba memandang dari sebuah tempat yang lebih tinggi, Situ Hyang seperti dua buah danau yang letaknya saling berhadap hadapan seperti itu disebut “ngabandung”. Kata itu pula yang sering dihubungkan dengan asal nama “Bandung”.

Tetapi kesaktian Sangkuriang yang berhasil menciptakan Situ Hyang dalam semalam, ternyata tidak mampu mengalahkan kesaktian ibu kandungnya. Dengan mengerahkan segenap kemampuannya, Dayang Sumbi berlari pada salah satu tempat yang lebih tinggi seraya mengibar-kibarkan kain putih yang biasa digunakan unuk kafan pembungkus jenazah. Dalam sekejap, fajar mulai merekah di ufuk timur. Burung-burung dan satwa hutan lainnya mulai bernyanyi menyambut datangnya pagi. Dari rumah-rumah penduduk, kokok ayam jantan bersahut-sahutan. Seolah dibangkitkan dari mimpinya, Sangkuriang yang sedang menyelesaikan pembuatan perahu, segera tersadar. Amarahnya tidak bisa terbendung lagi. Ia melampiaskan dendamnya dengan menendang perahu yang hampir selesai dikerjakan sampai akhirnya jatuh di suatu tempat.


 Ketika dilihatnya Dayang Sumbi berada di atas sebuah bukit yang lebih tinggi, amarahnya memuncak, ia mengejar ibu kandungnya sampai akhirnya Dayang Sumbi menerjukan diri ke dalam perut bumi dan meninggalkan lubang yang sangat besar. Kelak di kemudian hari, tempat jatuhnya perahu tersebut menjelma menjadi sebuah gunung api dan dinamakan Gunung Tangkubanperahu. Tangkub dalam Bahasa Sunda berasal dari kata nangkub yang artinya sesuatu benda yang ditaruh dalam keadaan tertelungkup. Gunung Tangkubanperahu jika dilihat dari arah Kota Bandung akan tampak seperti perahu yang terbalik. Gunung api itu lahir setelah Gunung Sunda runtuh. Sedangkan tempat Dayang Sumbi menerjunkan diri ke perut bumi, kini dinamakan Kawah Ratu.

Situ Hyang sering disebut sebagai Danau Bandung Purba. Secara geologi, fenomena terbentuknya perairan itu bukan karena kesakitan Sangkuriang. Perairan Danau Bandung Purba terbentuk setelah terjadi letusan dahsyat Gunung Sunda. Gunung berapi yang sangat aktif itu tingginya sekitar 3.500 – 4.000 meter di atas permukaan laut dengan garis tengah bagian dasarnya sekitar 20 kilometer. Fase kedua letusan dahsyat gunung tersebut tidak hanya mengakibatkan tubuh gunung itu runtuh dan menyisakan kaldera. Lahar dan material letusannya menutupi kawasan seluas 200 km2  dengan rata-rata ketebalan 40 meter, sehingga membendung aliran Sungai Citarum Purba.

Saat itu, aliran Sungai Citarum Purba berbeda dengan aliran Sungai Citarum sekarang. Dari hulunya di Gunung Wayang, sungai tersebut mengalir menyusuri kaki Gunung Sunda kemudian melewati daerah yang kini bernama Padalarang dan bermuara di Sungai Cimeta. Geolog dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Dr. Budhi Brahmantyo mengungkapkan, Danau Bandung Purba terbentuk karena timbunan lava Gunung Sunda di daerah ini. Bukan di daerah Sanghyang Tikoro sebagai anggapan selama ini. Pasir SangHyang Tikoro menurut Ketua Masyarakat Geografi Indonesia (MGI), Drs. T. Bachtiar S.E., setingginya hanya sekitar 300-400 meter di atas permukaan laut. Maka dengan ketinggian itu, mustahil pasir SangHyang Tikoro bisa membendung aliran Sungai Citarum purba sampai menciptakan perairan dengan ketinggian permukaan 700-725 meter di atas permukan laut. 

Akan tetapi, sesuatu hal yang tidak mustahil, perairan danau Bandung Purba mengalami dua periode pengeringan. Setelah berhasil membobol lava lunak di daerah Cimeta, air danau tersebut belum seluruhnya susut. Penyusutan berikut terjadi setelah lava lunak di pasir SangHyang Tikoro berhasil diterobos. Sejak itu, aliran Sungai Citarum berubah, membelah daerah selatan Bandung sehingga menciptakan terjunan air di daerah yang kini dinamakan Curug Jompong.

Setelah melewati daerah yang kini dijadikan Waduk Saguling, sebagian debit air Citarum memasuki goa kars yang bentuknya menyerupai terowongan alam. Saking besarnya terowongan alam tersebut, penduduk setempat menamakannya SangHyang Tikoro dalam Bahasa Sunda, SangHyang Tikoro artinya sama dengan “tenggorokan dewa”. Disebut demikian karena terowongan itu diibaratkan sama dengan tenggorokan dewa. Melalui terowongan alam itu, sebagian air Situ Hyang mengalir seolah ditelan kedalam perut bumi. Sungguh merupakan fenomena alam yang menakjubkan karena merupakan pemandangan yang jarang dijumpai. Suara air yang masuk lubang terowongan tersebut terdengar menggelegak, sehingga menambah daya tarik tersendiri. Sebagian lagi dari aliran air tersebut mengalir melalui celah yang sifat batuannya lunak sehingga di kemudian hari membentuk palung Sungai Citarum.






Di bagian hilir yang merupakan ujung terowongan, aliran air kembali bergabung. Air Sungai Citarum kembali menyusuri palung sungai, melewati daerah Rajamandala lalu memotong Jembatan Rajamandala kemudian bermuara di perairan Waduk Cirata.


SangHyang Tikoro terletak tidak jauh dari rumah pembangkit (power house) pusat listrik tenaga air (PLTA) Saguling yang dibangun di daerah Cipanas (Rajamandala). Panjang terowongan itu sekitar 162 meter dan lebar 5 meter. Kedalamannya sekitar 1,5-2 meter. Dalam suatu musim kemarau, wartawan dan pecinta alam Norwan Edwin (almarhum) pernah mencoba memasuki terowonga tersebut. Tetapi baru saja sekitar 15 meter, ia sudah menyerah dan minta ditarik kembali ke mulut terowongan. Menurut penduduk setempat, terowongan alam tersebut tidak dipercaya mengandung mistis. Menurut mereka, jika ada tangan usil yang membuang rambut wanita ke air yang mengalir masuk ke dalam terowongan tersebut, maka suara air di dalam terowongan akan terdengar seperti rintihan wanita. Suaranya menyayat nyayat, konon menurut kepercayaan itu suara yang mirip rintihan wanita itu dipercaya berasal dari tangis Dayang Sumbi, wanita yang menyesali nasibnya karena disunting anak kandungnya, Sangkuriang. Benar atau tidak, entahlah. Namanya juga kepercayaan. Terowongan alam SangHyang Tikoro sebenarnya bisa menjadi obyek wisata menarik, karena menjadi bagian tak terpisahkan dalam fenomena alam terjadinya Situ Hyang. Namun sayang pengunjung tidak bisa menyaksikan dengan nyaman akibat gangguan bau tidak sedap karena pencemaran berat Sungai Citarum. Lebih-lebih pada musim kemarau, air Sungai Citarum di daerah itu baunya sangat menyengat. Begitu kita berada di sana, sebaiknya sesegera mungkin menutup hidung. Pencemaran yang dialami Sungai Citarum pada kenyataanya telah mengakibatkan gangguan korosi, sehingga pagar besi di sekitar rumah pembangkit, cepat rusak karena karat.

Kembali ke kisah perairan Danau Bandung Purba. Walaupun airnya sudah menyusut, namun di sana-sini masih diumpai daerah genangan yang cukup luas. Tempat-tempat itu kini dikenali karena menggunakan kata depan ranca. Dalam Bahasa Sunda, ranca artinya rawa. Tempat-tempat itu antara lain Ranca Oray, Ranca Buntu, Ranca Ekek dan lainnya. Salah satu dari ranca tersebut, setelah kering kemudian dijadikan lokasi didirikannya Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin (RSHS). Tempat itu dulunya dipercaya sebagai tempat pangguyangan badak, atau tempat badak mandi lumpur. Karena itu, di kalangan penduduk Bandung, nama rumah sakti tersebut masih sering disebut Rumah Sakit Ranca Badak. Menurut Dr. F. de Haan (1910), di sebelah Tenggara Bandung, yakni di daerah yang terletak di sebelah selatan Ujungberung, saat itu masih digenangi air dan dikenal dengan nama Rawa Gegerhanjuang. Selain badak, di Dataran Tinggi Bandung juga berkeliaran binarang gajah. Seekor diantaranya mati. Karena proses geologi, tulang belulangnya berubah menjadi fosil. Geraham gajah Asia yang sudah memfosil itu ditemukan di daerah Rancamalang, Kabupaten Bandung. Lokasi penemuannya tidak jauh dari daerah yang kini bernama Leuwigajah. Leuwi dalam Bahasa Sunda artinya lubuk yang dalam, sehingga tidak mustahil tempat itu merupakan tempat gajah mandi dan bermain air bersama gajah-gajah lainnya. Sisi timur perairan Danau Bandung Purba sebelumnya berada pada daerah yang relatif dangkal. Karena banyak memiliki wilayah yang menjorok ke tengah perairan sehingga menyerupai tanjung, bentuk wilayahnya menyerupai jari-jari tangan manusia. Di kalangan masyarakat Sunda, tempat sempacam itu dinamakan bojong atau bobojong.

Setelah Danau Bandung Purba mengering, kata bojong digunakan oleh penduduk setempat untuk menamai kampung mereka yang di masa lalu berbentuk tanjung. Misalnya Bojong Malaka, Bojong Cibodas, Bojonb Jambu, Bojong Koneng, Bojong Pulus, Bojong Konci, Bojong Reungas, Bojong Kalong, Bojong Emas, Bojong Jati, Bojong Rangkas, Bojong Gede, Bojong Kaso, Bojong Nangka, Bojong Peundeuy, Bojong Monyet, Bojong Gempol dan masih banyak lagi. Karena memiliki kaitan erat dengan riwayat Dataran Tinggi Bandung, nama-nama seperti itu hendaknya dipertahankan.

Menyusuri riwayat Dataran Tinggi Bandung akan lebih lengkap lagi jika mengamati beberapa daerah lainya yang mengunakan kata situ. Dalam Bahasa Sunda, situ artinya kolam yang luas, atau danau. Ada yang disebut Situ Gede, Situ Garunggang, Situ Gunting, Situ Saeur, Situ Aras dan situ-situ lainnya. Situ Tarate di daerah Cibaduyut, dinamakan demikian karena perairan di daerah itu banyak ditumbuhi bunga teratai. Situ Saeur terletak di daerah Kopo. Dinamakan demikian karena situ tersebut disaeur atau ditumbun pada masa Bupati Bandung R.A.A. Martanegara (1893-1918). Situ lainnya adalah Situ Aras terletak di daerah Karasak Utara sekarang. Menurut cerita penduduk setempat, nama tersebut diambil dari nama soeran gpemudah yang menjadi korban di sana. Ketika itu, Aras dan tiga temannya bermain di pinggir situ. Walaupun sudah dilarang, Aras nekad terjun ke dalam situ lalu mencoba berenang. Pemuda malang itu tiba-tiba saja timbul tenggelam dan akhirnya tidak bisa ditolong lagi. Entah karena kram atau entah apa sebabnya. Keluarganya bersama penduduk di sekitar situ tersebut berusaha mencarinya dengan berbagai cara. Ada yang menggunakan perahu, namun ada pula yang meminta bantuan orang pintar. Jenazah Aras barulah ditemukan pada sore harinya dalam keadaan sudah mengambang. Melihat keadaan anaknya sudah tidak bernyawa, ibunya menjerit-jerit histeris. Tetapi Aras tetap terbujur kaku. Sampai tahun 1980-an, lokasi bekas Situ Aras masih meninggalkan bekas, walaupun sudah tidak lagi merupakan daerah genangan lagi. Setelah mengering kemudian ditimbun, di atasnya dibangun perumahan.sekarang tidak ada lagi bekasnya. Nasib Situ Aksan tidak jauh berbeda dengan situ-situ lainnya yang selama ini dianggap sebagai sisa terakhir Situ Hyang. Situ Aksan berada di daerah yang dulunya dinamakan Jalan Raya Barat. Kini jalan tersebut dinamakan Jalan Jenderal Sudirman. Pada zaman Belanda, situ tersebut dinamakan Westerche Park, tetapi masyarakat lebih senang menyebutnya Situ Aksan karena pemiliknya bernama Haji Aksan. Air Situ Aksan yang bening, sesekali beriak karena disapa angin.


Sampai tahun 1960-an, masyarakat Kota Bandung masih bisa menikmati indahnya Situ Aksan sehingga menjadi kenangan manis yang tidak mudah terlupakan. Hampir setiap hari Minggu, mereka mengunjungi situ tersebut bersama anggota keluarga lainnya. Mereka datang dengan berbagai cara. Ada yang berjalan kaki, namun ada pula yang naik oplet atau buskota DAMRI, atau delman. Ketika itu, udara Bandung masih sejuk dan di sekitar situ masih sering diselimuti kabut, walaupun hari sudah menunjukkan pukul 09.00 pagi. Di tengah situ terdapat semacam pulau kecil tempat pangung hiburan. Setibanya di tujuan, mereka memancing bersama puluhan orang lainnya yang berjejer di pinggir situ. Pengunjung lainya yang tidak dapat memancing, berperahu berkeliling situ sampai capek seraya menikmati hiburan. Mereka kemudian beristirahat lalu duduk santai beralas tikar, seraya menikmati bekal nasi timbel yang dibawa dari rumah masing-masing. Lawuhnya goreng ikan mas, ikan asin, sambal dan lalap-lalapan yang merupakan makanan kesukaan masyarakat Sunda. Asyik dan murah meriah pada saat itu. Popularitas situ tersebut makin populer setelah Mang Koko, tokoh karawitan Sunda yang legendaris menciptakan lagu Situ Aksan pada tanggal 16 Septembe 1963. Bait-bait lagunya seperti di bawah ini:

SITU AKSAN

Situ Aksan.....Situ Aksan
Pelesiran jeung lalayaran
Andom suka seuseurian
Sempal guyon jeung gogonjakan

Situ Aksan.....Situ Aksan
Matak betah mapay tambakan
Dipasieup kekembangan
Matak seger nu jalan-jalan

Situ Aksan.......Situ Aksan
Keur panglipur manah sungkawa
Tempat sirna pangbeberah
Nu nandang lara asmara

Situ di Kota Bandung
Panundung pikir keur bingung
Situ Aksan tempat resmi narik asih
Cain cur cor hejo beresih
Mayarna teu sabaraha
Nu teu mampuh ge kaduga

Situ Aksan..............Situ Aksan
Silih kaleng hiji pasangan
Tepak toel gogonjakan
Horeng geuning anyar tunangan


Bagi mereka yang berusia 50 tahun ke atas, lagu tersebut akan mengingatkan kenangan manis mereka. Sebagaimana bait-bait syairnya, Situ Aksan bukan hanya merupakan tempat rekreasi. Di tempat itu terdapat pasangan muda mudi yang sedang memadu kasih. Mungkin pasangan itu sudah dikarunia cucu atau bahkan cicit. Atau mungkin pula sudah berada di alam baka sana. Nasib situ tersebut makin lama makin pudar. Bandung makin padat, sehingga debit air yang masuk ke situ makin kecil. Seperti di daerah-daerah lainnya yang sebelumnya merupakan rawa, kolam atau sawah, dan tegalan, di atas bekas perairan Situ Aksan, kini sudah berdiri bangunan-bangunan perumahan. Situ Aksan kini hanya tinggal nama yang diabadikan pada nama jalan di sana: Jalan Situ Aksan.


1 komentar:

  1. Studi Pustaka artikel ini "Jendela Bandung" nya Her Suganda kah? karena kalimatnya persis sekali...hehe. Tulisan Her Suganda terbit November 2007 :)

    BalasHapus