Senin, 15 Agustus 2011

Patuha, Gunung Paling Tua?

Tidak terlalu meleset jika komponis Bang Ma’ing, nama akrab almarhum Ismail Marzuki memuji kemolekan alam Bandung Selatan nan eksotis. Melalui lagunya Bandung Selatan di Waktu Malam yang menjadi catatan hidupnya sewaktu mengungsi dari Jakarta, ia melukiskan pesona hatinya dalam bait-bait lagu yang memuji keindahan alam daerah itu. Bandung Selatan memang memiliki panorama alam yang indah yang dipadu dengan udaranya yang sejuk. Maklum, daerahnya bergunung-gunung, di mana sebagian wilayahnya beralaskan permadani hijau perkebunan teh. Perpaduan kemolekan alam itu makin memikat karena cerita rakyatnya tentang Gunung Pak Tua yang hingga kini masih tetap menyimpan misteri di kalangan penduduk setempat.

Pak Tua adalah julukan yang diberikan untuk Gunung Patuha, karena umurnya diduga sudah sangat tua. Gunung api tipe “B” itu mucul ke permukaan bumi pada saat Dataran Tinggi Bandung masih merupakan dasar samudera. Saat itu, roman kulit bumi masih mengalami perubahan-perubahan revolusioner, pelipatan (folding) dan pembentukan gunung pai. Salah satu dari gunung api tersebut adalah Gunung Patuha. Gunung itu muncul dari permukaan dasar samudera sehingga kemudian melahirkan dataran baru yang membentang dari daerah yang kini bernama Ciwidey di sebelah barag sampai Pangalengan di sebelah timur. Bahkan kini jika berjalan-jalan di tengah perkebunan teh di daerah Pangalengan masih bisa dijumpai teras-teras gunung api. 


Karena umurnya dianggap paling tua,masyarakat setempat menamakannya Gunung Pak Tua. Ada yang mengibaratkannya sebagai manusia, sehingga menyebutnya Gunung Sepuh. Dalam Bahasa Sunda, sepuh merupakan bentuk halus dari kata tua.

Mereka menyebutnya seperti itu karena puncak gunung tersebut merupakan tempat kediaman leluhurnya.
Gunung Patuha (2.434 m) menurut catatan pernah dua kali meletus. Letusan pertama terjadi pada abad ke-10 dan meninggalkan kawah di bagian puncak sebelah barat. Karena kawah tersebut mengering, masyarakat menamakannya Kawah Saat. Dalam Bahasa Sunda, saat artinya kering. Lama setelah itu, gunung tersebut tertidur lelap memasuki istirahat panjang. Kegiatan letusannya yang terjadi abad ke-13, melahirkan kawah kedua berupa danau sangat indah. Airnya bisa berubah-ubah warna, mirip dengan Danau Kelimutu. Sesekali warna airnya putih, sehingga kawah itu dinamakan Kawah Putih. Tetapi pada lain kesempatan berubah warna menjadi hijau atau kebiru-biruan, tergantung dari keadaan cuaca sekitarnya. Karena keindahannya yang mempesona, Kawah Putih bukan hanya dijadikan tempat tujuan wisata. Dalam waktu-waktu tertentu, kawah itu didatangi pasangan pengantin baru yang masih lengkap menggunakan pakaian pengantin. Kedatangan mereka bukan untuk wisata, tetapi sekedar berfoto dengan latar belakang kawahnya yang airnya berubah-ubah warna.

 Keindahan Kawah Putih pertama kali tersingkap berkat usaha Dr. Franz Wilhelm Junghuhn yang sedang melakukan perjalanan di daerah Bandung Selatan pada tahun 1837. Di suatu tempat yang amat sunyi yang terletak di sekitar Gunung Patuha, peneliti yang dijuluki “Humboldt untuk Pulau Jawa” itu beristirahat sambil duduk merenung menikmati keindahan alam Ciwidey. Tetapi selama merenung, ia tidak habis pikir, mengapa tidak seekor pun burung yang terbang melintasi daerah sekitar gunung tersebut.


Junghuhn berpikir untuk beberapa waktu lamanya sambil terus mengamati daerah sekitarnya. Ketika hal itu ditanyakan kepada pengantarnya, ia memperoleh jawaban yang tidak masuk akal. Katanya, daerah itu sangat angker sehingga tidak seorangpun berani memasuki kawasan itu. Puncaknya yang seringkali berselimut kabut putih, dipercaya sebagai tempat bersemayamnya arwah para leluhur dan merupakan wilayah kerajaan yang dikuasai mahluk jin. Pada salah satu puncaknya yang dinamakan Puncak Kapuk terdapat makam para leluhur yant terdiri dari Eyang Jaga Satru, Eyang Rangsa Sadana, Eyang Camat, Eyang Ngabai, Eyang Barabak, Eyang Baskom dan Eyang Jambrong. Karena dianggap memiliki kesaktian, makan tersebut dalam waktu-waktu tertentu sering diziarahi.

Hingga kini, kepercayaan itu belum luntur. Masyarakat setempat masih mempercayai, jika sekali waktu melihat sekawanan biri-biri berbulu putih yang dipercaya merupakan jelmaan para leluhurnya. Binatang jadi-jadian itu dinamakan domba lukutan.

Mendengar kisah yang diceritakan pengantarnya, Junghuhn tidak bisa percaya dengan begitu saja. Pengalamannya selama menjelajah hutan dan mendaki gunung-gunung di Pulau Jawa mendorong jiwa petualangnya mengunjungi tempat dianggap angker. Jalan aspal mulus sejauh enam kilometer yang kini membentang dari pintu Bodogol di dekat pemandian air panas Cimanggu, sebelumnya merupakan hutan lebat. Junghuhn berusaha menerobosnya, sehingga pengantarnya ketakutan. Namun begitu sampai di kaki gunung, ia tertegun beberapa saat lamanya. Pandangannya terpesona tatkala menyaksikan pemandangan yang menakjubkan. Di depan matanya, membentang sebuah danau yang sangat indah dengan bau yang menyengat. Airnya putih kebiru-biruan. Oi...betapa indahnya. Junghuhn segera menyadari, mengapa burung-burung menghindar terbang di atas puncak gunung tersebut. Jelas bukan karena angker, namun karena kandungan belerang cukup tinggi. Baunya menyegat kuat. Pengetahuan Junghuhn tentang Kawah Gunung Patuha segera dimanfaatkan. Di kemudian hari, kawah tersebut dieksploitasi pabrik belerang milik Belanda, Zwavel Ontgining Kawah Putih. Pada zaman pendudukan Jepang, kegiatan itu dilanjutkan oleh Kenzanka Yokoya Ciwidey. Sisa-sisa fondasi pabrik tersebut masih dijumpai jika kita berkunjung ke sana.


Kawah Putih berada pada ketinggian 2.149 meter di atas permukaan laut, merupakan bagian dari kawasan hutan lindung seluas 2.690,5 hektar dengan vegetasi khas kawah antara lain jenis jamuju, cantigi dan paku-pakuan. Sekitar 1,5 kilometer dari Kawah Putih terdapat Kawah Saat. Suhu di kedua kawan berkisar antara 18-26 derajat. Pada malam hari bisa mencapai 11 derajat Celcius. Tetapi sewaktu-waktu, suhu bisa turun secara mendadak sampai tiga derajat celcius. Pemandangan sekeliling menjadi gelap karena tertutup kabut.


Beberapa jenis binatang yang terdapat di sana antara lain sanca, burung hantu, surili, harimau dan serigala. Untuk keselamatan pengunjung dilarang memasuki daerah sekitar kawah selewat pukul 17.00.

Rintihan Dayang Sumbi di Kawah Ratu

Legenda Sangkuriang yang mengisahkan  Dayang Sumbi, ibu yang malang karena disunting anak kandungnya bernama Sangkuriang, rupanya tidak berakhir dengan terciptanya Situ Hyang, danau buatan yang berusaha diciptakan dalam semalam. Wanita cantik yang awet muda itu, hingga kini dipercaya masih hidup. Ketika Gunung Tangkubanperahu memperlihatkan aktivitasnya sebagai gunung api,  misalnya masyarakat di sekitar gunung tersebut menangkapnya sebagai isyarat dari Ibu Ratu. Ibu Ratu adalah nama panggilan untuk Dayang Sumbi. Ia sering diminta bantuannya untuk meredakan aktivitas vulkanik Gunung Tangkubanperahu melalui upacara ritual. Namun, sesekali Ibu Ratu terdengar merintih, menyampaikan kepedihan hatinya. Bahkan jika nasib sedang mujur, sekali waktu apabila berada di bibir Kawah Ratu, akan terdengar suara yang mendesis-desis ibarat suara orang yang sedang menangis. Konon, itulah suara rintihan Dayang Sumbi yang menanggung beban derita karena ulah anaknya.


 Kawah Ratu merupakan salah satu kawah di Gunung Tangkubanperahu. Secara geologis, kawah tersebut telah menarik banyak perhatian para ahli geolog. Apalagi kawah tersebut merupakan satu-satunya kawah gunung api yang bisa dijangkau dengan kendaraan roda empat. Tanpa bersusah payah, begitu turun dari kendaraan, pengunjung sudah berada di bibir kawah.




Gunung Tangkubanperahu bukan hanya merupakan salah satu gunung api yang masih aktif di Jawa Barat. Gunung tersebut sekaligus merupakan taman wisata alam (TWA) dengan luas sekitar 370 ha. Secara administratif, gunung tersebut berada di dua wilayah administrasi pemerintahan, yakni Kabupaten Bandung dan Kabupaten Subang. Puncaknya yang berada pada ketinggian 2.076 meter di atas permukaan laut, pertama kali didaki Reibeek yang sedang mencari kandungan belerang. Karena kelelahan, ia meninggal dalam perjalanan pulang pada tanggal 13 November 1713. Baru tahun 1906, atas prakarsa Bandoeng Vooruit dibangun jalan ke puncak gunung tersebut. Sejak itu, kawah Gunung Tangkubanperahu merupakan satu-satunya kawah gunung api yang bisa dicapai dengan kendaraan roda empat. Gunung api tersebut muncul sebagai fasa paling mudah dari kompleks Gunung Sunda, setelah sebelumnya runtuh dan mengalami sesar. Bagian puncaknya yang unik karena bentuknya memanjang dari arah timur-barat sepanjang kurang lebih 1.100 meter memiliki banyak kawah.



Selain Kawah Ratu, gunung api tersebut masih memiliki beberapa kawah lainnya. L.D. Reksowirogo dalam Data Dasar Gunung Api Indonesia (1979) mengungkapkan, Kawah Ratu dan Kawah Upas yang biasa disebut Kawah Pangguyangan Badak merupakan kawah utama. Garis tengahnya sekitar 800 meter. Kawah lainnya seperti Kawah Domas, Kawah Jarian, Kawah Badak, Kawah Siluman, dan Kawah Baru disebut kelompok kawah parasiter. Aktivitas kawah-kawah tersebut berlangsung saling bergantian, sepanjang garis lemah patahan yang menembus kerak bumi sampai mencapai kantong magma. Jika kawah yang satu aktif, maka aktivitas kawah lainnya akan menyusul kemudian. Begitu peristiwa itu berlangsung sehingga gunung api tersebut tidak sempat membangun kerucut. Karena itu, jika dipandang dari Kota Bandung, bentuk puncak gunung tersebut tampak seperti perahu terbalik. Itulah sebabnya dinamakan Gunung Tangkubanperahu. 


Di banding kawah lainnya, Kawah Ratu merupakan primadona daya tarik wisatawan. Pemandangan di sekitarnya sangat indah. Jika sendang kebetulan, pengunjung bisa mendengar desah suara seolah suara manusia yang berusaha melepaskan beban berat batinnya yang menderita. Nadana terasa makin menyayat jika kita berada di sana pada saat matahari sudah terbenam. Alam sekelilingnya sunyi. Pohon-pohon hanya merupakan bayangan hitam yang menakutkan. Tanpa baju hangat atau jaket, pengunjung bisa kedinginan karena suhu di puncak gunung tersebut bisa mencapai 7-8 derajat celcius. Desah suara dari kawah tersebut sebenarnya berasal dari suara uap belerang yang dikeluarkan dari perut bumi. Jika bercampur racun, uap belerang tersebut bisa merenggut nyawa manusia.

Kawah Ratu dinamakan demikian karena merupakan tempat dimana Dayang Sumbi membenamkan diri ke dalam perut bumi karena tidak sudi disunting sebagai istri oleh anak kandungnya sendiri. Ia memilih lebih baik mati daripada menodai dirinya dan menanggung karma dari dewata. Kisahnya yang masih tetap hidup dan dijalin dalam cerita rakyat Sunda yang paling populer, telah menambah daya tarik tersendiri. Bahkan saking terpikatnya, dua geolog terkemuka, setelah meninggal merelakan abu jenazahnya disebarakan ke dalam Kawah Ratu, sebagaimana dibuktikan oleh Prof. H. Th. Klompe dan Prof. George Adrian de Neve. Kedua geolog itu pernah menjadi Guru Besar Technische Hogeschool (TH) atau Institut Teknologi Bandung (ITB) sekarang. Prof. H. Th. Klompe meninggal di Kualalumpur, lebih dari empat puluh tahun lalu. Karena terpesona dan kecintaan pada Gunung Tangkubanperahu, sebelum meninggal ia berwasiat agar kelak setelah meninggal, abu jenazahnya ditaburkan di Kawah Ratu. 

Tiga puluh lima tahun setelah peristiwa pertama, peristiwa berikutnya terulang kembali tatkala abu jenazah Prof. George Adrian de Neve ditebarkan di tempat yang sama. Peristiwa langka itu dilukiskan dengan amat manis bercampur haru oleh Prof. Dr. Ir. Adjat Sudrajat MSc., mantan Direktur Jenderal Pertambangan Umum, Departemen Pertambangan dan Energi. Dengan rasa hormat seorang murid kepada gurunya, ia menggambarkan jalannya peristiwa: “Dengan dipandu seorang pengamat gunung api, pelan-pelan abu jenazah menuruni tebing terjal Kawah Ratu yang dipangku  oleh salah seorang anaknya. Dari bibir kawah, Ny. De Neve dan murid-murid serta kerabat almarhum yang duduk di atas kursi, dengan penuh khidmat menyaksikan peristiwa pagi hari yang cerah itu. Setibanya di dasar permukaan kawah, abu jenazah kemudian ditaburkan dengan perlahan-lahan, persis seperti membaringkan anak bayi. Di sanalah menjadi tempat yang jadi pilihannya yang terakhir, Prof. George Adrian de Neve beristirahat dengan tenang. Abunya sudah lama menyatu dengan hangatnya tufa belerang yang menyelimuti kawah tersebut.

Gunung Tangkubanperahu termasuk gunung api tipe strato yang dalam sejarahnya pernah mengalami beberapa kali letusan. Letusan pertama yang tercatat, terjadi di Kawah Ratu dan Kawah Domas pada tanggal 4 April 1829. Setelah istirahat, letusan berikutnya terjadi pada tahun 1862, 1887, 1888, 1896, 1910, 1926, 1952 dan tahun 1969. Setelah mengalami istirahat panjang, sejak Juni 2002, gunung tersebut kembali memperlihatkan aktivitasnya. Kegiatannya terus meningkat sehingga sejak 2 September dinyatakan memasuki tingkat “waspada”. Bagi masyarakat setempat, terjadinya peningkatan aktivitas tersebut ditafsirkan sebagai peringatan Ibu Ratu. Ibu Ratu adalah Dayang Sumbi yang pernah menempati Gunung Putri, sebuah bukit yang terletak di sebelah utara Gunung Tangkubanperahu.sesuaidengan pesan yang diterima sesepuh masyarakat setempat, maka masyarakat yang sehari-hari mencari nafkah di obyek wisata tersebut menyelenggarakan selamatan. Secara bergotong-royong, mereka membuat tumpeng dengan telur sebagai lauknya. Setelah upacara tersebut, perkembangan aktivitas Gunung Tangkubanperahu kembali mereda. Percaya atau tidak, terserah......................